Rajin Sedekah tapi..

hadapan manusia. Penerima merasa diperhatikan dan pemberi merasa dihargai karena pemberianya diterima. Tapi tidak semua apa yang kita berikan itu tercatat sebagai pahala, karena bisa jadi apa yang kita perbuat mendatangkan laknat.

Lalu timbul pertanyaan, kenapa kok memberi malah terlaknat, bukankah memberi itu mendatangkan kebaikan dan maslahat?

Benar, memberi itu baik dan mendatangkan maslahat baik bagi diri dan orang lain, tapi yang perlu diperhatikan adalah memberi tidak ada maksud mendapatkan pujian dan tempat dalam hati orang lain, seperti berharap agar terpilih dalam konteks tertentu. Betapa banyak orang yang sudah mengeluarkan bantuan tapi semua itu sirna ibarat debu berterbangan sebab tertiup angin.

Dan Kami tampakkan apa yang dahulu telah mereka amalkan lalu Kami jadikan ia bagaikan debu yang beterbangan.” (QS. Al-Furqan: 23)

Tentang maksud “bagaikan debu yang beterbangan” Imam al-Baghawi rahimahullahmenjelaskan, “Artinya sia-sia, tidak mendapat pahala. Karena mereka tidak melakukannya [ikhlas] karena Allah ‘azza wa jalla.” (lihat Ma’alim at-Tanzil, hal. 924).

Imam Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan, “Setiap amalan yang tidak ikhlas dan tidak berada di atas ajaran syari’at yang diridhai [Allah] maka itu adalah batil/sia-sia.” (lihat Tafsir al-Qur’an al-’Azhim [6/103]).

Nah, apa saja yang akan membatalkan pahala pemberian atau shadaqoh?

Pertama : Mengungkit-ngungkit, orang yang senang mengungkit pemberiannya secara tidak langsung menghapus nilai pahala, misalnya perkataan “Tidak tahu diuntung. Dulu sewaktu susah siapa yang membantu?” dan masih banyak perkataan lainnya yang dapat menyakitkan hati. Coba mari renungkan jika pernah berkata seperti kalimat tersebut. inilah kalimat yang akan merusak, hal ini Allah tegaskan dalam firman-Nya.

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تُبْطِلُوا صَدَقَاتِكُمْ بِالْمَنِّ وَالْأَذَى

“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kalian batalkan (pahala) sedekah kalian dengan mengungkit-ungkit pemberian dan menyakiti (yang diberi).” (QS. Al-Baqarah [2]: 264)

Pada ayat ini, Allah SWT jelaskan bahwa perbuatan suka mengungkit-ungkit pemberian yang telah disedekahkan atau dihadiahkan kepada orang lain itu dapat membatalkan (menghapuskan) pahala. Dan perbuatan suka mengungkit-ungkit pemberian menunjukkan kurangnya iman seseorang.

Hal ini dipertegas dalam hadits yang diriwayatkan dari sahabat Abu Dzarr radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

ثَلَاثَةٌ لَا يُكَلِّمُهُمُ اللهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ، وَلَا يَنْظُرُ إِلَيْهِمْ وَلَا يُزَكِّيهِمْ وَلَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ

“Tiga golongan manusia yang Allah tidak akan mengajak mereka bicara pada hari kiamat, tidak melihat mereka, tidak mensucikan dosanya dan mereka akan mendapatkan siksa yang pedih.”

Abu Dzar berkata lagi, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengulanginya sampai tiga kali. Abu Dzar berkata, “Mereka gagal dan rugi, siapakah mereka wahai Rasulullah?”

Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab,

الْمُسْبِلُ، وَالْمَنَّانُ، وَالْمُنَفِّقُ سِلْعَتَهُ بِالْحَلِفِ الْكَاذِبِ

“Orang yang melakukan isbal (memanjangkan sarungnya sampai melebihi mata kaki, pent.), orang yang suka mengungkit-ungkit pemberian, dan orang yang (berusaha) membuat laku barang dagangan dengan sumpah palsu.” (HR. Muslim no. 106).

Agar pahala pemberian/shadaqoh tetap utuh, dan menuai barokah yaitu dengan menghindari mengungkit-ungkit apa yang telah diberikan kepada orang lain.

Kedua, Riya’, yaitu agar mendapat pujian dan perhatian lebih dari orang lain, karena seyogyanya memberi/bershadaqoh  haruslah dengan keikhlasan. Mungkin bagi sebagian orang perasaan riya’ kerap muncul ketika pertama kali melakukan. Tapi jika menunggu orang beramal atau bersedekah harus dengan hati ikhlas, maka mungkin hanya sedikit atau bahkan tidak akan ada orang yang melakukan amal. Sehingga bersedekah meski tidak ikhlas diangggap tidak apa-apa.sebagian ada pendapat yang demikian, hal itu sah-sah saja dalam hal pembelajaran.Tapi pada saat yang sama harus dihilangkan rasa ingin dipuji, apalagi ada kemauan lebih seperti ingin dihargai, karena inilah yang akan merusak nilai pahala kebaikan.

Maka, nikmatilah memberi atau shadaqoh dengan hati yang lapang tanpa ada kepentingan yang akan merusak nilai pahala, yaitu dengan cara ikhlas, hanya ingin berharap rida Allah SWT semata dan kapan saja, dimana saja, yakni tidak musiman, seperti mereka yang melakukan kebaikan karena misi tertentu. Jadilah seperti Utsman bin Affan yang sedekah dalam jumlah besar dan hati tetap ikhlas. Jadilah seperti Abdurrahman bin Auf yang kekayaannya justru membuatnya semakin rendah hati dan selalu peduli terhadap masalah keummatan.

Semoga Allah SWT senantiasa menjaga lisan dan hati kita dari perkara yang merusak dan membatalkan kebaikan-kebaikan yang telah kita perbuat, serta mengampuni segala dosa-dosa yang telah lalu, Aamiin.*/Moh. Homaidi pegiat pendidikan di Batu_Jawa Timur